Akhir akhir ini kita semua dikagetkan dengan peristiwa
kejahatan seksual terhadap satu anak TK di sekolah Internasiona JIS. Kejahatan
seksual terhadap anak di dalam ataupun di luar lembaga pendidikan sebenarnya
bukan baru kali ini terjadi. Sudah seringkali terjadi bahkan mungkin ketika
kita heboh membicarakan kasus JIS pun kejahatan seksual terhadap anak terus
terjadi terutama terhadap anak anak yang ‘invisible’ seperti anak-anak jalanan,
anak-anak di panti asuhan, anak di daerah konflik dan bencana, dan banyak anak
lain. Terus kenapa baru heboh sekarang setelah anak yang menjadi korban berasal
dari kelas social ‘atas’ dan sekolahnya di sekolah ‘internasional’? kenapa
ketika terjadi di sekolah-sekolah biasa apalagi di kampung kayaknya pemerintah
dan masyarakat gak seheboh sekarang ini? … kalo ini di bahas bakalan panjang,
jadi untuk kali ini kayaknya saya gak akan membahas ini dulu deh.
Saya ingin membicarakan tentang tindak kejahatan seksual
pada anak aja dulu, tentang dimana bisa terjadi, siapa pelakunya, dan bagaimana
kita sebagai orang tua bisa membantu anak kita mempertahankan dirinya dan
menjaga dirinya. Sifat dari pembicaraan ini tidak lain dan tidak bukan hanya
ingin berbagi. Tulisan ini juga bukan tulisan ilmiah, jadi mungkin tulisan ini terkesan miskin data... he..he…maklumlah nulisnya
disela-sela kesibukan mempersiapkan draft konfirmasi.
Langsung aja kali ya…
Kekerasan seksual terhadap anak didefinisikan APA sebagai
tindakan paksa untuk melakukan aktivitas seksual yang dilakukan oleh orang
dewasa terhadap anak. Aktivitas seksual disini termasuk raba-meraba mulai dari sentuhan erotis di tangan, paha, bahu, dada,
sampai di area kelamin dan anus; cumbuan,
seperti menciumi bagian bagian tubuh bisa bagian mana saja; masturbasi, memaksa anak melakukan
masturbasi dengan tangannya sendiri atau dilakukan oleh pelaku, ataupun memaksa
anak untuk membantu pelaku bermasturbasi; oral-genital
sex, ini juga bisa si pelaku yang melakukan oral terhadap korban ataupun
sebaliknya korban dipaksa melakukan oral terhadap pelaku; anal-genital sex, istilah terkenalnya sodomi; digital penetration, nah ini jika si pelaku memasukkan jarinya ke
dalam vagina atau anus, atau si pelaku memaksa korban memasukkan jari korban ke
vagina atau anus si pelaku; dan tentu saja intercourse,
kalo yang ini gak usah dijelasin lagi kayaknya.
Yang saya sebutkan di atas adalah bentuk tindakan dengan
kontak fisik. Kekerasan seksual terhadap anak juga tidak terbatas pada kontak
fisik, tapi juga tanpa kontak fisik seperti: memaksa anak menonton film/gambar
porno, memaksa anak mebuka baju dan pelaku hanya melihat, memaksa anak melihat
si pelaku bertelanjang atau memperlihatkan genitalianya atau memaksa anak untuk
melihat adegan persetubuhan/aktivitas seksual lain yang dilakukan pelaku dengan
pasangannya.
Memang mengerikan sekali, tapi itu semua terjadi dan bisa
terjadi pada siapa saja, anak mana saja, dimana saja, dan kapan saja. Tentu ada
anak-anak yang lebih rentan mengalami ini, ya seperti yang saya sebutkan sebelumnya,
tapi walaupun anak kita tidak termasuk kelompok rentan, kita perlu tetap
waspada dan tetap berusaha melakukan pencegahan.
Sekarang, saya ingin sedikit menyinggung soal siapa
pelakunya…
Kebanyakan kekerasan seksual terhadap anak dilakukan oleh orang
terdekat yang dipercayai anak, walaupun untuk kasus JIS pelakunya tidak
memiliki kedekatan dengan si anak, si pelaku ada di lingkungan sehari-hari anak.
Kalo kita googling sedikit saja tentang berita kekerasan seksual terhadap anak,
pelakunya hampir selalu orang yang sehari-hari ada disekitar anak. Bisa paman,
bibi, guru (laki ataupun perempuan), kakek, ayah sendiri, ibu sendiri, kakak,
tetangga, anak tetangga.
Sedikit catatan nih: kejahatan seksual terhadap anak tidak
hanya dilakukan oleh pelaku dewasa, banyak juga yang pelakunya juga masih
anak-anak. Tapi kalau saya melihat pelaku anak-anak ini adalah juga korban jadi
sebaiknya pelakunya tidak dikriminalisasi tapi direhabilitasi atau apalah
istilahnya lainnya yang lebih tepat, asal jangan dipenjarakan.
Jadi pelaku juga bisa siapa saja terlepas dari orientasi
seksualnya apakah heteroseksual atau homoseksual, dan juga jenis kelaminnya
bisa laki-laki bisa perempuan. Memang mayoritas pelaku berkelamin laki-laki
tapi tapi tidak menutup kemungkinan perempuan juga terlibat dalam tindak
kejahatan ini. Pelaku juga belum tentu paedofilia yang merasa mendapatkan
rangsangan erotic dari anak-anak yang belum pubertas atau di bawah 13 tahun.
Walaupun most likely memang paedofilia. Rumit juga mengkategorikan pelaku ini,
kalau saya sih cenderung menganggap semua pelaku sebagai sexual predator.
Kayaknya perlu
bahasan khusus tentang seksualitas nih, khususnya orientasi seksual dengan
penyimpangan seksual….di bagian lain aja ya hehe…nanti lagi…
Saya agak gatel ketika peristiwa JIS dikait-kaitkan dengan
homoseksualitas, karena besar kemungkinan justru kasus JIS ini tidak ada
kaitannya dengan homoseksualitas. Kalo sepintas menyimak berita tentang kasus
JIS, si pelaku AW dikenal sebagai anak yang baik penurut dan penakut, kenapa
dia justru jadi pelaku?...
Memang pelaku kejahatan seksual terhadap anak biasanya
memiliki masalah dalam hubungannya dengan orang seusianya atau orang yang lebih
dewasa dari dia. Biasanya si pelaku merasa powerless di depan orang seusianya
sehingga terkesan penakut, sedangkan di depan anak-anak, dia merasa sangat
powerful sehingga menjadi sangat berani memperlakukan si anak sesuka hatinya.
Jadi saya melihat kasus JIS ini bukan masalah orientasi seksual tapi justru
masalah relasi power yang dipersepsi oleh si pelaku antara dia dan korban, dan
antara dirinya dengan orang lain sebayanya.
Informasi tentang child sexual abuse bisa dibaca langsung
disini
Nah sekarang, bagaimana cara membantu anak kita supaya
terhindar dari kejahatan ini…
Banyak yang menyarankan untuk pandai-pandai memilih sekolah.
Itu betul kita harus pandai memilih sekolah, mungkin kita (ibu-ibu di Melbourne
ini) masih beruntung karena berada pada kelas ekonomi menengah dan atas, jadi
punya keleluasaan resources (mulai dari uang sampai pengetahuan) untuk memilih
sekolah yang tepat dan terbaik. Tapi bagaimana dengan orang tua-orang tua lain
yang tidak punya keleluasaan itu?
Dan…
Kurang apa sih ibunya AK dalam memilih sekolah? Luar biasa
dipilihkan sekolah dengan keamanan berlapis dan berstandar internasional yang
biayanya juga luar biasa, konon katanya sekolah setaun di TK JIS biayanya sama
dengan setahun saya sekolah PhD di Melbourne Uni, luaaaaaaarrrrr biasa
Itukan bukan sekolah berbasis agama…
Kekerasan seksual juga terjadi di sekolah-sekolah berbasis
agama, di pesantren ataupun di sekolah agama lain. Tahun 2012 di Kabupaten
Bandung Barat terjadi kekerasan seksual yang dilakukan terhadap 23 anak oleh
seorang guru ngaji. Berapa banyak juga altar boy yang jadi korban pastor-pastor
predator.
Intinya sekali lagi, kejahatan seksual bisa terjadi dimana saja, di
sekolah negeri, swasta, gratis, mahal, local, internasional, formal, non formal;
di lingkungan mana saja, bahkan di rumah sendiri; pada kelas social mana saja,
dll seperti yang sudah saya bicarakan di atas.
Untuk itu…sebaiknya kita mulai pendidikan seksual untuk anak
kita sejak dini dengan tujuan untuk mengenalkan tubuh mereka, bagaimana cara
memeliharanya dan menjaganya.
Psikolog Elly Risman sepertinya sudah sering membicarakan
pendidikan seks untuk anak, yang saya share
disini ada yang sama ada juga yang berbeda dengan pendapat bu Elly, tapi
pada dasarnya adalah sama, bagaimana mengajarkan anak untuk menjaga tubuhnya.
Pendidikan seksual bisa dimulai sejak anak mulai memahami
perbedaan laki-laki dan perempuan, sekitar usia dua tahun. Ini yang sudah saya
lakukan dengan anak-anak saya, (sedikit catatan ya, ini cocok untuk anak di
bawah 10 tahun, di atas 10 tahun edisi berikutnya aja ya hehe)
1. Menyebutkan nama organ genitalnya tanpa
menunjukkan rasa malu atau ragu-ragu. Sebutannya bisa menggunakan bahasa apa
saja, kalo saya pakai bahasa sunda, karena waktu itu tinggal di Bandung dan
saya orang sunda.
2. Ketika anak mulai bertanya tentang apa bedanya
laki-laki dan perempuan (pertanyaan ini biasa muncul pada anak usia 2-3 tahun),
sebutkan perbedaannya mulai dari organ genitalia yang dimilikinya pake bahasa
sederhana tentunya. Saya beruntung karena punya anak perempuan dan laki-laki.
Ketika anak perempuan saya bertanya, “kok ade beda (alat kelaminnya) dengan
aku?” saya jawab ade laki-laki punyanya penis, mbak perempuan punyanya vagina
(*penis dan vaginanya pake bahasa sunda). Biasanya pertanyaan anak berkembang,
mama perempuan atau laki-laki? Ayah perempuan atau laki-laki? Dan seterusnya
dan seterusnya….saya yakin hampir semua orang tua pernah menghadapi pertanyaan
itu.
3. Mulai saat inilah, si anak diberi tahu bahwa
tubuhnya terutama organ genitalianya harus dijaga dengan baik. Ada empat zona
tubuh yang tidak boleh disentuh orang
lain kecuali oleh *sebutkan yang menurut kita boleh menyentuhnya* karena
berkaitan dengan aktivitas pengurusan anak. Empat zona itu adalah area bibir dan
mulut, area dada, area kelamin, dan area pantat.
Dulu saya mengatakan…yang boleh pegang cuma
mama, ayah, dan miss-miss di daycare, kalo tidur di rumah ninin boleh juga sama
ninin dan ateu. Saya juga menyebutkan kenapa mereka boleh menyentuhnya….”karena
kan mbak/ade dicebokin dan dimandiin sama ….” “kalo nggak lagi nyebokin atau
mandiin ya gak boleh juga ya nak…”
Saya tambahkan juga, dokter juga boleh tapi
harus ada mama atau ayah.
Saat ini juga anak diajarkan untuk juga
menghormati tubuh orang lain, dia juga tidak boleh menyentuh tubuh orang lain
terutama 4 zona tadi.
Untuk ajaran Islam, batasan aurat diajarkan
saat ini juga.
Perbincangan tentang batasan tubuh dilakukan
berulang-ulang dengan anak, tau sendiri anak-anak kadang perhatian sama ucapan
kita kadang cuek. Tekankan pada anak, jika ada yang memaksa menyentuh bagian
tubuhnya, terutama di 4 zona privasi, anak harus mengatakan tidak dan kalau
tetap memaksa teriak dan lari.
4. Kebiasaan mandi, ketika akan mandi, ada baiknya
dibiasakan membuka pakaian di dalam kamar mandi dan anak tidak dibiarkan
bertelanjang di dalam rumah, karena kita perlu konsisten antara yang kita
ucapkan bahwa organ genital harus dijaga dan perilaku yang kita ajarkan. Saat
mandi, ini waktu yang tepat untuk memberi tahu anak cara membersihkan diri
termasuk organ genitalnya dengan baik dan benar. Saat mandi ini juga saat yang
tepat untuk mencontohkan sentuhan-sentuhan yang tidak boleh dilakukan orang
lain terhadap anak kita.
Setelah mandi pun anak ditutupi handuk
sampai di kamar..hehehe walaupun suka susah juga sih ngajarin anak terutama
yang dibawah 4 tahun, sukanya lari sana lari sini, mau dibaju-in juga kadang
lari-lari dulu di dalam rumah. Kita bisa sebutkan “malu ih penis/vaginanya gak
ditutupi”
5. Pembicaraan tentang tubuh sebaiknya menjadi
pembicaraan biasa yang bisa dibicarakan kapan saja dan terus berkembang setahap
demi setahap, biasanya anak usia 3-4 tahun mulai lebih kritis dengan bertanya
kenapa bisa ada bayi, aku asalnya darimana, dan pertanyaan lain yang bikin
bingung jawabnya. Saran saya sih jawab jujur aja dengan bahasa sederhana. Saya
ingat usia 3,5 tahun anak perempuan saya bertanya “ma, kata miss-miss (daycare)
bayi keluarnya dari perut ya? Perutnya dibuka?” saya langsung jelaskan….”ada
yang seperti itu, tapi kebanyakan keluar melalui vagina”, lalu saat itu saya
jelaskan dengan menggunakan gambar, mulai dari bagaimana bayi berkembang di
perut ibu dan keluar melalui vagina. Maksudnya adalah supaya informasi yang
diterima oleh anak adalah informasi yang benar dan secara tidak langsung memberi
pesan kepada anak bahwa membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan vagina/penis
tidak memalukan, yang memalukan adalah “tidak menutupi organ tersebut.”
Kenapa pembicaraan tentang penis atau
vagina sebaiknya tidak ditabukan? Supaya anak dengan mudah membicarakan apapun
yang dirasakannya pada organ tersebut dan kita akan lebih mudah memberikan
informasi seksual yang benar ke depannya. Karena pendidikan seksual itu akan
terus berlangsung sampai anak-anak kita menikah.
Coba deh bayangkan, kalau kita tabukan
membicarakan vagina/penis ketika anak mengatakan “ma kalo aku lari penisku
goyang-goyang” trus reaksi kita: “hey ngomong apa? Gak boleh ngomong begitu,
malu!” dan setiap ucapan penis/vagina kita bilang malu..malu…malu…!!!
Anak tidak akan terbuka pada kita tentang
apa yang dirasakannya pada alat kelaminnya. Kalau sesuatu terjadi pada organ
genitalnya itu mungkin akan cenderung diam.
6. Perlakukan anak sebagai subjek yang memiliki
pilihan, boleh menolak, boleh mengatakan gak mau. Mudah-mudahan dengan
penghargaan kita terhadap pilihan anak, anak-anak kita bisa mengutarakan
ketidaksukaannya ataupun kesukaannya terhadap sesuatu dengan baik. Intinya
ajarkan anak untuk mengatakan tidak dengan tegas terhadap hal hal yang tidak
disukainya. Kalau saya biasanya mengajarkan ini ketika si kakak dan si adek
bertengkar. Si adek yang senang sekali menjahili kakaknya sering menggoda
kakaknya, si kakak suka langsung merengek atau nangis. Saya bilang sama kakak, “mbak,
kalo gak suka ya bilang aja “aku nggak suka! Adek gak boleh begitu!”
Melatih anak mengatakan tidak, harapannya
supaya dia berani juga mengatakan tidak pada orang lain ketika dia mendapat
perlakuan tidak menyenangkan dari orang lain.
7. Pembicaraan rutin sepulang sekolah, kayaknya ini
sudah dilakukan oleh banyak orang tua. Mulai bertanya belajar apa, main dengan
siapa, apakah hari ini menyenangkan dan lain-lain. Kebiasaan ini juga
mempermudah kita mendeteksi apabila ada sesuatu yang aneh sepulang sekolah.
Dalam pembicaraan rutin ini juga bisa ditanamkan bahwa anak bisa menceritakan
apapun pada kita, termasuk kalau ada yang mengganggunya.
8. Kalo anak-anak masih kecil (di bawah 6 tahun),
coba perhatikan kebiasaan toiletnya (BAK/BAB) kalo ada yang aneh…langsung
periksa dan setelah periksa kalau ada yang aneh segera tanyakan dengan nada
yang santai. Jika pembicaraan tentang vagina/penis biasa dilakukan tentu
menanyakan ini akan lebih mudah.
9. Kita perlu membuka diri untuk terbuka berbicara
tentang seksualitas pada anak terutama ketika anak menjelang remaja. Informasi
yang salah tentang seks gampang banget diperoleh dari internet. Daripada anak
sembunyi sembunyi mencari tahu, mending kita dampingi keingintahuannya.
10. Banyak berdoa karena yang menjaga anak kita
sejatinya adalah Allah SWT….:)
Begitulah teman-teman sharing dari saya….semoga ada
manfaatnya, saya juga menunggu sharing dari teman-teman lain yang mungkin punya
tips yang berbeda.
Oiya teman-teman, di grup WA saya pernah membaca
kekhawatiran jika anak diberikan pengetahuan tentang tubuhnya dan diajarkan
untuk berkuasa penuh atas tubuhnya, maka anak akan mudah menjadi homoseksual. Kayaknya
kita perlu membahas ini secara khusus deh tentang perkembangan gender anak dan
seksualitas anak. Kapan-kapan di bahas lagi ya man teman….:)
daaaaan
Terima kasih sudah bersedia membaca :)
Salam,
Hani Yulindrasari (mama GalBim)